IMPLEMENTASI PROGRAM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI BAGIAN KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN(BKPH) PRADOK KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN(KPH) BOJONEGORO

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Program Agroforestry dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pradok, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bojonegoro. Program agroforestry menjadi salah satu strategi yang diterapkan Perum Perhutani untuk menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan melalui pemanfaatan lahan secara terpadu. Namun, implementasi di lapangan sering menghadapi tantangan, seperti rendahnya kepatuhan terhadap perjanjian bagi hasil, keterbatasan sumber daya, dan lemahnya koordinasi antar pihak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik purposive sampling. Informan terdiri dari Asper BKPH Pradok, staf Perhutani, dan 17 penggarap lahan. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, kemudian dianalisis menggunakan teori implementasi kebijakan George C. Edwards III, yang meliputi indikator komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program agroforestry di BKPH Pradok belum optimal. Dari aspek komunikasi, ditemukan bahwa sosialisasi hanya dilakukan secara rutin tiga bulan sekali dan belum mampu menjangkau seluruh penggarap maupun menjawab akar persoalan di lapangan. Dalam hal sumber daya, terdapat kekurangan tenaga penyuluh, sarana pendukung yang minim, dan rendahnya akses teknologi bagi penggarap lahan. Dari segi disposisi, petugas Perhutani menunjukkan komitmen cukup tinggi dalam mendampingi masyarakat, namun partisipasi masyarakat masih rendah, bersifat pragmatis, dan fokus pada keuntungan jangka pendek. Sedangkan pada struktur birokrasi, meskipun sistem kelembagaan sudah terbentuk, koordinasi antar pemangku kepentingan terutama antara Perhutani, LMDH, dan pemerintah desa belum berjalan efektif. Pengawasan di lapangan juga dinilai lemah, sehingga beberapa penggarap tidak mematuhi mekanisme bagi hasil yang disepakati. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kegagalan implementasi tidak hanya disebabkan oleh satu aspek, tetapi merupakan akumulasi dari lemahnya komunikasi, keterbatasan sumber daya, disposisi masyarakat yang belum mendukung, serta struktur birokrasi yang belum terintegrasi secara fungsional. Perlu adanya peningkatan strategi komunikasi yang lebih partisipatif, peningkatan kapasitas teknis penggarap, dan penguatan sinergi kelembagaan agar pelaksanaan program agroforestry dalam skema PHBM dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan.